Sunday, February 4, 2018

ADA 3 MACAM POLA PIKIR MANUSIA


ADA 3 MACAM POLA PIKIR MANUSIA

(No.3 dari) SERBA SERBI ANGKA TIGA”

1.      Pola pikir konstruktif
2.      Pola pikir tahayul
3.      Pola pikir pandir atau sawa’un

            Ditinjau dari alasan dan pembuktian, maka manusia dalam berpikir atau menangkap kebenaran mempunyai pola sebagai berikut, ada yang meyakini sesuatu atau membuat kesimpulan berdasarkan ada alasan atau tidak ada alasan, alasan itu digali berdasarkan rasio, baik rasio dasar maupun rasio ilmiah, dan tidak harus terbukti dahulu, pola ini tepatnya disebut pola konstruktif.  Ada juga orang yang mempunyai keyakinan atau menyimpulkan sesuatu tanpa harus ada alasan rasional maupun bukti mereka percaya saja mengikuti naluri, perasaan dan nafsu didorong oleh harapan, dan rasa takut tertentu selain itu suka menelan mentah mentah suatu fakta, Pola ini lebih tepatnya kita sebut pola tahayul. Selanjutnya ada juga orang yang hanya mau dan mampu menyimpulkan sesuatu apabila sudah terbukti dengan filosofinya: “buktikan dulu, kalau sudah terbukti baru saya percaya”  pola ini yang  dinamakan pola pandir atau sawa’un pandir atau sawa’un terbagi 2 yaitu pandir untuk kajian kebenaran iptek dan sawa’un untuk kajian kebenaran agama. Dalam sejarah dakwah rasulullah pola sawa’un ini ditonjolkan oleh orang-orang kafir qurais yang sangat sulit menangkap kebenaran agama islam, Allah menjelaskan pada 2 ayat dalam 2 surat (Albaqarah dan Yasin) :”sawa’un alaihim a anzartahum amlamtum zir hum la yukminun” = “sama saja mereka diberitau atau tidak mereka tidak ber iman” mengapa demikian..? karena mereka minta bukti dulu setiap kali menerima berita dari nabi. Sedangkan pola pandir sering di tonjolkan orang Indonesia dalam menyikapi kebenaran ilmu pengetahuan sehingga banyak terjadi kerugian pada bangsa dan Negara ini ( baca buku: “POLA PIKIR KONSTRUKTIF VERSUS POLA PANDIR” ) yang saya tulis. Jelasnya pola sawa’un dan pola pandir ini berpedoman segala sesuatu itu harus terbukti dulu baru saya percaya. Padahal yang harus dibuktikan dulu itu adalah untuk kajian peristiwa hukum.

Berpikir itu adalah menangkap kebenaran, pola pikir yang benar dan baik pada semua bentuk kebenaran yang dikaji haruslah secara konstruktif atau menggunakan pola pikir konstruktif, kalau tidak maka akan terjadi salah nalar dan kesesatan sehingga: a.menjadi pandir pada kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang bersifat ilmiah, b.menjadi sawa’un pada kebenaran agama yang bersifat mutlak, c.menjadi zolim pada kebenaran hukum yang bersifat rasa keadilan dan pendidikan.

Konstruksi berpikir pada kebenaran iptek (ilmiah) dan kebenaran agama (mutlak) adalah sama tetapi dari bahan baku yang berbeda keduanya menempatkan bukti adalah alat terakhir. Kebenaran iptek (ilmiah) digali berdasarkan akal manusia, dan kebenaran agama (mutlak) berasal dari petunjuk tuhan/ wahyu illahi. Sedangkan konstruksi pada kebenaran peristiwa hukum (rasa keadilan dan pendidikan) terbalik justru menempatkan bukti sebagai alat pertama dan utama dalam menangkap kebenaran. kebenaran hukum adalah untuk menyikapi perilaku manusia.

         Berpikir secara ilmiah atau menangkap kebenaran secara ilmiah, atau melakukan kajian ilmu pengetahuan secara ilmiah adalah berpikir secara systematis, jadi bukan instan. Secara systematis berarti harus ada konstruksinya, atau kronologinya yaitu dimulai dari Hypotesa (dugaan-dugaan) atau perumusan masalah, lalu ke Analisa, kemudian Landasan teori, sebelum (terakhir) adalah pembuktian.
Pada tahap landasan teori orang harus sudah dapat menyimpulkan kebenaran ini akan terbukti atau tidak. landasan teori harus sudah jadi pegangan, karena dari Analisa yang benar, dan Analisa yang benar dari Hypotesa atau perumusan masalah yang benar.

Dalam kajian ilmiah sampai tahap landasan teori tersebut pemikir menyimpulkan 2 sisi akhir (yang akan dibuktikan) yaitu hal yang menguntungkan atau hal yang merugikan.

4
Bila hal menguntungkan, maka sebaiknya segera dibuktikan, jangan sampai dibuktikan oleh orang dulu baru yakin, hal ini adalah kebodohan karena hak ciptanya akan dimiliki orang lain. sebaliknya bila kajiannya hal yang merugikan  maka antisipasi harus diambil jangan sampai terbukti atau terjadi dulu baru yakin. Biasanya kerugian berupa bencana.

Jadi sebenarnya konstruksi berpikir untuk kebenaran iptek (ilmiah) sama dengan konstruksi berpikir untuk kebenaran agama (mutlak) tetapi bahan bakunya berbeda. Untuk agama bahannya adalah Alqur’an, dan Hadist, serta ijma’ para ulama. Bukti benarnya agama itu akan kita nikmati setelah mati, dimulai dari alam kubur sampai di akherat nanti. Di dunia ini adalah tanda tanda kebenaran agama bagi mereka yang berpikir.

       Sebaliknya konstruksi dalam menyikapi kebenaran (peristiwa) hukum/perilaku manusia (rasa keadilan dan pendidikan) adalah mendahulukan bukti jadi kebalikan dari konstruksi 2 kebenaran di atas. Justru bukti adalah landasan utama dan pertama, karena kebenaran hukum dalam peristiwa adalah menyangkut perilaku manusia, jadi bersifat rasa keadilan dan pendidikan, bila ada peristiwa hukum maka tidak boleh kita menetapkan seorang sebagai yang bertanggung jawab kalau tidak berdasarkan bukti. Jadi landasan utama adalah bukti lalu didukung oleh saksi, dan diperkuat dengan alibi, begitu pula kalau akan menetapkan seseorang sebagai pahlawan atau orang berjasa yang akan diberi penghargaan, maka buktikan dulu peran orang tersebut.
Pada kebenaran hukum ini tidak boleh ada rekayasa, berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan harus direkayasa agar menjadi teknologi. Kalau kebenaran hukum direkayasa maka akan terjadi kezoliman. Sedangkan kalau kebenaran agama direkayasa akan terjadi kesesatan bid’ah dan syirik.  

Catatan:
Dilihat dari lamanya proses berpikir maka pola pikir konstruktif tentulah memakan waktu yang lebih lama dari pada 2 pola pikir lainnya yaitu pola tahyul dan sawa’un atau pandir untuk 2 pola pikir ini dapat disebut pola pikir instan, sudah tentu dilakukan oleh orang-orang yang malas berpikir, karenanya selalu salah nalar dan merugikan tapi ini manusiawi manusia tak luput dari kesalahan namun walaupun begitu kesalahan bukan untuk dipertahankan. Persamaan dan perbedaan dari kedua pola pikir instan ini adalah: yang sawa’un tidak dapat menangkap kebenaran agama, yang pandir tidak dapat menangkap kebenaran iptek, dan yang tahayul tidak dapat menangkap keduanya.

5

Monday, January 29, 2018

ADA 3 MACAM BENTUK KEBENARAN


ADA 3 MACAM BENTUK KEBENARAN

(No.2 dari) SERBA SERBI ANGKA TIGA”

1.      Kebenaran agama yang bersifat mutlak
2.      Kebenaran ilmu pengetahuan & teknologi (IPTEK) yang bersifat ilmiah
3.      Kebenaran hukum perilaku manusia yang bersifat rasa keadilan dan pendidikan  

       Kebenaran adalah sesuatu yang sengaja dibuat, digali, dan atau diciptakan sebagai petunjuk bagi manusia yang berakal dan mau menggunakan akalnya, bagi orang yang berakal tapi tidak menggunakan akal, maka tidak dapat mengikuti petunjuk tersebut (akan tersesat) seperti kalau menggunakan perasaan, dan atau nafsunya. Kalau sesuatu terjadi tanpa disengaja itu namanya KEBETULAN. Kalau orang mencari-cari alasan untuk mempertahankan pendapat, kemauan dan nafsu tanpa harus melihat benar atau salah itu namanya PEMBENARAN. Jadi KEBENARAN adalah petunjuk sama halnya dengan ILMU PENGETAHUAN berbeda dengan kebetulan dan pembenaran.

       Ditinjau dari sifat dan fungsinya maka kebenaran dapat dibagi menjadi 3 bentuk kebenaran yaitu:
            1. Kebenaran yang bersifat mutlak untuk menyikapi agama,
            2. Kebenaran yang bersifat ilmiah untuk menyikapi ilmu pengetahuan & teknologi (IPTEK),
3 . Kebenaran yang bersifat dengan rasa keadilan dan pendidikan untuk menyikapi hukum     (perilaku manusia).

Sejatinya kebenaran adalah petunjuk bagi orang yang berakal yang menggunakan akalnya, bukan menggunakan perasaan, naluri atau nafsunya kalau tidak menggunakan akal pasti akan terjadi salah nalar dan kesesatan.

       Setiap bentuk kebenaran tersebut mempunyai konstruksi sesuai dengan sifat dan kegunaannya yaitu:

A.      Kebenaran Agama yang mutlak, landasan utamanya adalah wahyu ilahi (petunjuk tuhan) terhimpun dalam kitab suci (Alqur’an) sesuai dengan perintah dalam Alqur’an untuk tunduk dan patuh, serta taat kepada nabi, maka landasan kedua adalah hadist nabi. Lalu yang ketiga adalah ijma para ulama (apabila diperlukan) hal ini juga atas petunjuk nabi (berdasarkan hadist).
       Kebenaran Agama ini bersifat mutlak karena sebagai petunjuk Allah (perintah, larangan, dan penjelasan) yang tidak ada kritik dan saran, tidak boleh diinovasi dan dimodifikasi oleh siapapun karena tidak ada makhluk yang lebih pintar pada Allah. Sama pintar saja tidak ada apalagi yang lebih pintar.selanjutnya umat islam itupun tidak ada yang lebih pintar dari nabi soal agama ini. Karena agama itu fungsinya adalah jalan untuk keselamatan dari dunia sampai waktu menghadap Allah di akhirat nanti, saat itulah manusia menemukan bukti kebenaran agama. Jadi konstruksi kebenaran mutlak adalah: 1. Kitab suci (Alqur’an), 2. Hadist nabi, 3. Ijma para ulama, 4. Bukti (surga atau neraka). Kebenaran mutlak ini berwarna dan berhiasan pahala, dosa, gaib, setan dan malaikat, dan bersifat sakral. Serta sebagai petunjuk bagi manusia yang didapat karena diberi olah tuhan bukan dibuat manusia sendiri. Jadi kebenaran mutlak adalah untuk menyikapi kebenaran agama yang menempatkan bukti pada tujuan akhir (masuk surga atau neraka)

B.       Kebenaran Iptek yang ilmiah, landasan utamanya adalah dugaan-dugaan atau hypotesa, yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan analisa berupa pengukuran dan penghitungan. Apabila setelah diadakan analisa ternyata akurat maka dugaan itu berubah kedududukannya menjadi teori atau landasan teori. Selanjutnya dari landasan teori ini diadakan pembuktian, lalu bila terbukti menjadi hukum atau rumus. Jadi konstruksi kebenaran ilmiah adalah: 1. Dugaan atau hipotesa, 2. Analisa, 3. Teori. 4. Bukti, dan 5 hukum atau rumus.       
       Kebenaran ilmiah ini tidak mengenal dosa, pahala, mengenal yang misteri tapi bukan yang gaib dan sakral, tidak ada sangkut paut dengan setan dan malaikat dan sebagai petunjuk bagi manusia yang didapat oleh manusia karena dicari sendiri, fungsinya untuk menyikapi ilmu pengetahuan, baik yang menghasilkan teknologi maupun yang tidak.

2.
C.       Kebenaran hukum perilaku manusia yang berasa keadilandan pendidikan, landasan utamanya adalah bukti kebenaran hukum ini adalah untuk menyikapi yang sudah dilakukan (sudah terjadi) jadi harus ada bukti dulu apakah seseorang itu sudah berjasa atau sudah melakukan kriminal. Bukti ini didapat dengan 2 cara: 1. Secara langsung yaitu bila kejadiannya dalam kondisi tertangkap basah, atau tertangkap tangan (istilah dari KPK) biasanya untuk kejadian yang tidak direncanakan atau tidak disadari oleh pelaku. 2. Secara tidak langsung, yaitu harus dicari dulu walaupun sudah ada terduga, terutama untuk kejadian yang disengaja/ direncanakan dan pelaku berusaha menghilangkan atau mengalihkan bukti. Pencarian bukti harus diproses secara ilmiah tapi mutlak (tanpa keraguan, tanpa rekayasa) berbeda dengan ilmiah untuk iptek, yang boleh direkayasa dan sifatnya relative. Dengan demikian konstruksi kebenaran hukum ini ada 2 type, type a.yaitu: 1.bukti, 2.sakasi, 3.alibi, 4.keputusan. dan type b.yaitu: 1. Praduga, 2.bukti, 3.saksi, 4.alibi, 5.keputusan.

 Jadi ketiga macam kebenaran berdasarkan sifat-sifatnya itu ada perbedaan dan ada persamaannya. Perbedaan kebenaran ilmu pengetahuan dengan 2 bentuk kebenaran lainnya adalah hanya ilmu pengetahuan yang boleh direkayasa sehingga terjadi inovasi, dan teknologi.

     Perbedaan sifat ilmiah dan sifat keadilan dengan sifat mutlak adalah yang ilmiah dan berkeadilan itu bersifat atau terkandung hal yang relative, dan didapat karena manusia mencarinya,  sedangkan mutlak berarti tidak relative, tidak boleh diganggu gugat, tidak ada kritik dan saran, tidak boleh diinovasi dan dimodifikasi, didapat karena Allah mendatangkannya melalui rasul-Nya. Persamaannya adalah semua kebenaran itu adalah sebagai petunjuk bagi orang berakal yang menggunakan akalnya, dan semua kebenaran itu membutuhkan bukti tetapi dengan konstruksi yang berbeda. Kebenaran hukum berpangkal dari bukti sedangkan kebenaran ilmiah dan agama mencari dan menuju bukti.

Catatan:
Bagi siapa yang tidak mengenal 3 macam kebenaran ini, dan salah dalam menyikapi setiap bentuk dari kebenaran itu, di khawatirkan akan menjadi tersesat dengan menjadi :
1. Orang sawa’un dalam beragama (bersetatus TBC),
2. Orang Pandir dalam berilmu pengetahuan,
3. Orang zolim dalam menegakkan hukum.            

Kita harus menggunakan pola pikir yang benar, yaitu pola pikir konstruktif. Salah satu dari 3 macam pola pikir manusia berdasarkan bukti dan alasan.

Saturday, January 27, 2018

ADA 3 PILAR EVALUASI UMAT ISLAM (No.1 dari) “ SERBA SERBI ANGKA TIGA”


ADA 3 PILAR EVALUASI UMAT ISLAM

(No.1 dari) SERBA SERBI ANGKA TIGA”

1.      Keimanan
2.      Hidayah
3.      Kebenaran
     
       Rasulullah sudah berpesan kalau suatu saat nanti umat islam itu akan terbagi 73 golongan, dari 73 golongan itu hanya 1 golongan yang selamat (masuk surga) sedangkan sisanya 72 golongan tidak selamat (masuk neraka) Penggolongan ini adalah penggolongan di mata Allah dan Rasulullah, bukan penggolongan dalam kaca mata umat yang membuat golongan berdasarkan nama organisasi.

       Masing masing umat islam yang tersebar dalam 73 golongan itu merasa dan berkeyakinan bahwa dia adalah bagian dari golongan yang 1 (golongan yang selamat) tapi beranikah mereka mengevaluasi diri …? (dengan 3 pilar evaluasi: 1. Keimanan, 2. Hidayah, 3. Kebenaran) Semua umat islam dalam 73 golongan itu kalau ditanya  apakah mereka beriman..? mereka akan menjawab ya, saya beriman atau kami beriman.
       Benarkah kita beriman atau benarkah iman kita .? kita semua harus berani dan mau mengevaluasi diri, saya benar beriman atau iman saya benar karena mempunyai Hidayah. Kalau orang mengaku beriman tapi dia tidak mendapat hidayah maka imannya itu hanyalah iman-imanan alias imannya tidak benar atau dia tidak benar-benar beriman.
       Selanjutnya kalau masing-masing umat itu ditanya apakah mereka mendapat hidayah..? dengan lancar selancar dengan pertanyaan (evaluasi) pertama, mereka menjawab saya mempunyai hidayah atau kami mendapat hidayah.
       Tapi benarkah kita mendapat hidayah, (petunjuk)..? Sama dengan keimanan di muka kita semua harus berani dan mau mengevaluasi diri apa benar saya mendapat hidayah, apa indikasinya,,? Siapapun tidak boleh menyangkal bahwa orang yang mendapat hidayah itu adalah orang yang dapat menangkap kebenaran. Benarkah seseorang mendapat hidayah kalau tidak dapat menangkap kebenaran..?

       Jadi ada 3 pilar evaluasi umat untuk mengetahui apakah seseorang masuk golongan 1 atau golongan 72 yaitu: 1. Keimanan, 2. Hidayah, 3. Kebenaran
       Selanjutnya umat islam itu kalau ditanya apakah mereka dapat menangkap kebenaran,,? Maka mereka menjawab tidak selancar menjawab pertanyaan evaluasi pertama dan kedua. Walau mereka tetap menjawab: “ saya dapat menangkap kebenaran “! Padahal inilah evaluasi yang menentukan, kalau seseorang memang dapat menangkap kebenaran maka dia harus dapat menjelaskan:

1.      Apakah kebenaran itu..?
2.      Apakah ada beda kebenaran dan pembenaran..? dan apa bedanya…?   
3.      Apakah ada beda kebenaran dan kebetulan ..? dan apa bedanya..?
4.      Ada berapa macamkah kebenaran itu..? (berdasarkan sifat dan fungsinya)

Catatan:
Umat islam yang 72 golongan yang tersesat itu, tersesat karena tidak dapat menangkap kebenaran secara sungguh-sungguh , karena tidak dapat membedakan Agama adalah kebenaran mutlak. (mutlak berarti tidak boleh ada kritik dan saran, tidak ada inovasi, dan modifikasi terhadap ketentuan agama yang merupakan Petunjuk Allah yang Maha benar), berbeda dengan kebenaran lainnya (seperti ilmu pengetahuan, hukum positive, adat, budaya) yang relative, sehingga mereka mempunyai status bid’ah dan atau musyrik, 2 hal yang merusak kemurnian agama. Indikasi sesat dapat dilihat secara jernih, dan seksama mereka terdiri dari orang bodoh merasa pintar, dan orang pintar tapi berbuat bodoh.
Hal ini terjadi karena tidak dapat menangkap kebenaran, terutama dalam memandang Alqur’an sebagai kitab dan pelajaran yang nyata tidak mengenal isinya ada bab gaib, ada bab syar’i ,dan ada bab ilmu pengetahuan. Ada yang harus ditangkap dengan dalil (syar’i) dan ada dengan dalih atau penalaran (ilmu pengetahuan). Kalau disamaratakan maka timbul bid’ah dan musyrik.
                                                                
1