ADA
3 MACAM POLA PIKIR MANUSIA
(No.3 dari) “ SERBA SERBI ANGKA TIGA”
1. Pola pikir konstruktif
2. Pola pikir tahayul
3. Pola pikir pandir atau sawa’un
Ditinjau dari alasan dan pembuktian,
maka manusia dalam berpikir atau menangkap kebenaran mempunyai pola sebagai
berikut, ada yang meyakini sesuatu atau membuat kesimpulan berdasarkan ada
alasan atau tidak ada alasan, alasan itu digali berdasarkan rasio, baik rasio
dasar maupun rasio ilmiah, dan tidak harus terbukti dahulu, pola ini tepatnya
disebut pola konstruktif. Ada juga orang yang mempunyai keyakinan atau
menyimpulkan sesuatu tanpa harus ada alasan rasional maupun bukti mereka
percaya saja mengikuti naluri, perasaan dan nafsu didorong oleh harapan, dan
rasa takut tertentu selain itu suka menelan mentah mentah suatu fakta, Pola ini
lebih tepatnya kita sebut pola tahayul. Selanjutnya ada juga orang
yang hanya mau dan mampu menyimpulkan sesuatu apabila sudah terbukti dengan
filosofinya: “buktikan dulu, kalau sudah terbukti baru saya percaya” pola ini yang
dinamakan pola pandir atau
sawa’un pandir atau sawa’un terbagi 2 yaitu pandir untuk kajian
kebenaran iptek dan sawa’un untuk kajian kebenaran agama. Dalam sejarah
dakwah rasulullah pola sawa’un ini ditonjolkan oleh orang-orang kafir qurais
yang sangat sulit menangkap kebenaran agama islam, Allah menjelaskan pada 2
ayat dalam 2 surat (Albaqarah dan Yasin) :”sawa’un alaihim a anzartahum
amlamtum zir hum la yukminun” = “sama saja mereka diberitau atau tidak mereka
tidak ber iman” mengapa demikian..? karena mereka minta bukti dulu setiap kali
menerima berita dari nabi. Sedangkan pola pandir sering di tonjolkan orang
Indonesia dalam menyikapi kebenaran ilmu pengetahuan sehingga banyak terjadi
kerugian pada bangsa dan Negara ini ( baca buku: “POLA PIKIR KONSTRUKTIF VERSUS
POLA PANDIR” ) yang saya tulis. Jelasnya pola sawa’un dan pola pandir ini
berpedoman segala sesuatu itu harus terbukti dulu baru saya percaya. Padahal
yang harus dibuktikan dulu itu adalah untuk kajian peristiwa hukum.
Berpikir itu adalah menangkap
kebenaran,
pola pikir yang benar dan baik pada semua bentuk kebenaran yang dikaji haruslah secara konstruktif atau menggunakan pola pikir konstruktif, kalau
tidak maka akan terjadi salah
nalar dan kesesatan sehingga: a.menjadi pandir pada
kebenaran ilmu
pengetahuan
dan teknologi
(iptek) yang bersifat ilmiah, b.menjadi sawa’un pada
kebenaran agama yang bersifat mutlak, c.menjadi zolim pada kebenaran
hukum
yang bersifat rasa keadilan dan pendidikan.
Konstruksi berpikir pada
kebenaran iptek (ilmiah) dan kebenaran agama (mutlak) adalah sama tetapi dari
bahan baku yang berbeda keduanya menempatkan bukti adalah alat terakhir. Kebenaran iptek (ilmiah) digali berdasarkan akal manusia,
dan kebenaran agama (mutlak) berasal dari petunjuk tuhan/ wahyu illahi.
Sedangkan konstruksi pada kebenaran peristiwa hukum (rasa keadilan dan
pendidikan) terbalik justru menempatkan bukti
sebagai alat pertama dan utama dalam menangkap kebenaran. kebenaran hukum adalah untuk menyikapi perilaku manusia.
Berpikir
secara ilmiah atau menangkap kebenaran secara ilmiah, atau melakukan kajian
ilmu pengetahuan secara ilmiah adalah berpikir secara systematis, jadi
bukan instan. Secara systematis berarti harus ada konstruksinya, atau
kronologinya yaitu dimulai dari Hypotesa
(dugaan-dugaan) atau perumusan
masalah, lalu ke Analisa,
kemudian Landasan teori, sebelum
(terakhir) adalah pembuktian.
Pada tahap landasan teori orang
harus sudah dapat menyimpulkan kebenaran ini akan terbukti atau tidak. landasan
teori harus sudah jadi pegangan, karena dari Analisa yang benar, dan Analisa
yang benar dari Hypotesa atau perumusan masalah yang benar.
Dalam kajian ilmiah sampai tahap landasan teori tersebut
pemikir menyimpulkan 2 sisi akhir (yang akan dibuktikan) yaitu hal yang menguntungkan
atau hal yang merugikan.
4
Bila hal menguntungkan, maka
sebaiknya segera dibuktikan, jangan sampai dibuktikan oleh orang dulu baru
yakin, hal ini adalah kebodohan karena hak ciptanya akan dimiliki orang lain.
sebaliknya bila kajiannya hal yang merugikan
maka antisipasi harus diambil jangan sampai terbukti atau terjadi dulu
baru yakin. Biasanya kerugian berupa bencana.
Jadi sebenarnya konstruksi
berpikir untuk kebenaran iptek (ilmiah) sama dengan konstruksi berpikir untuk
kebenaran agama (mutlak) tetapi bahan bakunya berbeda. Untuk agama bahannya
adalah Alqur’an, dan Hadist, serta ijma’ para ulama. Bukti benarnya agama itu
akan kita nikmati setelah mati, dimulai dari alam kubur sampai di akherat nanti. Di dunia ini adalah tanda tanda kebenaran
agama bagi mereka yang berpikir.
Sebaliknya
konstruksi dalam menyikapi kebenaran (peristiwa) hukum/perilaku manusia (rasa keadilan dan pendidikan) adalah mendahulukan bukti jadi kebalikan dari
konstruksi 2 kebenaran di atas. Justru bukti
adalah landasan utama dan pertama, karena kebenaran hukum dalam
peristiwa adalah menyangkut perilaku manusia, jadi bersifat rasa keadilan dan
pendidikan, bila ada peristiwa hukum maka tidak boleh kita menetapkan seorang
sebagai yang bertanggung jawab kalau tidak berdasarkan bukti. Jadi landasan utama adalah bukti lalu didukung oleh
saksi, dan diperkuat dengan alibi, begitu pula kalau akan menetapkan seseorang
sebagai pahlawan atau orang berjasa yang akan diberi penghargaan, maka buktikan
dulu peran orang tersebut.
Pada kebenaran hukum ini tidak boleh ada rekayasa,
berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan harus direkayasa agar menjadi teknologi. Kalau kebenaran hukum direkayasa maka akan terjadi kezoliman. Sedangkan kalau kebenaran agama direkayasa akan
terjadi kesesatan bid’ah dan syirik.
Catatan:
Dilihat
dari lamanya proses berpikir maka pola pikir konstruktif tentulah memakan waktu
yang lebih lama dari pada 2 pola pikir lainnya yaitu pola tahyul dan sawa’un
atau pandir untuk 2 pola pikir ini dapat disebut pola pikir instan, sudah tentu
dilakukan oleh orang-orang yang malas berpikir, karenanya selalu salah nalar
dan merugikan tapi ini manusiawi manusia tak luput dari kesalahan namun
walaupun begitu kesalahan bukan untuk dipertahankan. Persamaan dan perbedaan
dari kedua pola pikir instan ini adalah: yang sawa’un tidak dapat menangkap
kebenaran agama, yang pandir tidak dapat menangkap kebenaran iptek, dan yang
tahayul tidak dapat menangkap keduanya.
5